Menu

coiga

AYO GABUNG

KARYA ANDA KAMI NANTIKAN

TENIS COI menantikan karya Anda untuk mengisi konten di situs ini.
Baik itu tulisan maupun foto tentang pemain, klub, pengurus Pengkot/Pengkab, Pengprov dan PP Pelti, turnamen dan kegiatan tenis lainnya. Kirim karya tulis atau karya foto Anda ke e-mail: akumemangcoi@yahoo.com.

Jumat, 17 September 2010

Haruskah Kandas Ditelan Dusta?


Oleh: Gungde Ariwangsa SH *
Sumber Asli -- CINTA TENIS INDONESIA - KALAH itu tidak enak. Kekalahan itu pahit dan menyedihkan. Bahkan kekalahan itu kejam karena bisa menuntut korban pada orang yang kalah dan bertanggungjawab atas terjadinya kekalahan itu sendiri. Lihat saja, pelatih atau manajer langsung mundur begitu timnya kalah dan gagal mewujudkan target. Dulu banyak tentara Jepang melakukan harakiri karena menderita kekalahan dalam peperangan membela bangsa dan negara.
-Namun lebih menyedihkan dan kejam lagi kalau para pecundang tidak bisa menyikapi kekalahan itu dengan instropeksi diri secara jujur dan tulus. Apalagi kemudian lari dari tanggungjawab dengan melempar kesalahan serta mencari kambing hitam. Sikap seperti ini selain menyedihkan juga busuk karena melenceng jauh dari sikap sportivitas yang merupakan roh utama dari olahraga.

Begitulah, akan sangat memilukan hati bila kekalahan mencolok 1-4 tim tenis putra Piala Davis Indonesia dari Thailand lalu memunculkan saling menyalahkan. Dalam menerima suatu kekalahan itu tidak ada artinya untuk mencari siapa yang benar atau siapa yang salah. Sebenarnya kekalahan itu sendiri sudah menjadi bukti bahwa semuanya salah. Lalu apa artinya menganggap diri paling benar dalam kondisi penuh kesalahan.

Takluknya tim Merah Putih di tangan Thailand tidaklah membutuhkan pahlawan kesiangan yang menepuk dada sebagai paling benar. Justru yang dibutuhkan ada evaluasi yang benar-benar terbuka, jujur dan adil. Semua mau menyadari kekurangannya sehingga bisa ditemukan solusi terbaik untuk bisa bangkit dari kekalahan.

Dengan berpedoman pada sikap kesatria alias jantan maka sungguh mengherankan bila muncul polemik yang berkonotasi saling menyalahkan di media massa pasca terbenamnya tim Piala Davis Indonesia dalam lumpur kekalahan. Kemudian ada juga yang berteriak lantang menyatakan fisik para pemain Indonesia payah. Mengapa harus begini?

Bukanlah kalau sadar fisik pemain payah kenapa ada pemaksaan satu pemain diforsir bermain dalam tiga partai? Sedangkan Thailand yang datang dengan pemain lebih baik dalam peringkat dunia yang tentunya juga lebih siap dalam fisik sama sekali tidak menempatkan pemain yang bermain rangkap. Berdasarkan keterangan kapten tim Thailand, Paradorn Srichaphan semua pemain yang dibawa ke Jakarta benar-benar siap bertarung karena sudah dipersiapkan secara matang dari jauh-jauh hari.

“Kami tidak main-main menghadapi Indonesia. Selain bermain di negeri sendiri, kami melihat Indonesia memiliki potensi untuk mengalahkan kami. Untuk itu kami melakukan persiapan dengan baik sejak jauh-jauh hari,” kata mantan pemain nomor 10 besar dunia itu.

Pernyataan Paradorn yang sudah kenyang pengalaman bermain di tingkat dunia dan tentunya juga dalam membela negaranya di ajang Piala Davis membuktikan mereka tahu kekuatan sendiri dan kekuatan lawan. Sedangkan Indonesia terlihat hanya tahu nafsu untuk mengejar impian kemenangan sehingga lupa pada kekuatan sendiri. Terjadilah Christopher Rungkat sebagai kuda perahan bermain di tunggal dan ganda. Sudah tahu fisik pemain tidak meyakinkan kenapa tetap dipaksa bermain rangkap.

Tidak salah bila kemudian harus bertanya lagi, kenapa bisa begini. Kalau dicermati tulisan di Tabloid Tennis Edisi 152 lalu semuanya harusnya sadar, tim Indonesia memang tidak dipersiapkan secara baik dan benar. Namanya bermain untuk tim kenapa sama sekali tidak ada program sebagai tim dan juga memberikan waktu dan ruang yang lebih untuk memupuk kebersamaan tim.

“Karena memenuhi keinginan pemain maka kami tidak melakukan Pelatnas. Persiapan pemain kita serahkan kepada klub masing-masing,” ujar Manajer Tim Indonesia, Kresno Merdiko.

Langkah yang sangat berani dengan memberi kebebasan kepada pemain berlatih kepada klub masing-masing tanpa pengawasan dan program yang matang dari pimpinan tim. Melepas pemain ke klub bukan berarti melepaskan bebas merdeka. Mereka harus tetap diberi program yang hasilnya terus dipantau sepanjang waktu.

Nasi sudah menjadi bubur. Ke depan jelas perlu perbaikan-perbaikan menyeluruh. Tanpa ada perbaikan bukan saja dalam program latihan namun juga sikap mental pemain dan yang berperan dan bertanggungjawab dalam tim maka kebangkitan hanya akan lepas ditelan dusta. Haruskah kandas lagi ditelan dusta? ***

* Penulis adalah wartawan HU Suara Karya dan Pengurus Pusat KPO (Komisi Pemantau Olahraga) Indonesia. Kontak email: akumemangcoi@yahoo.com
***
(CTI-1)

***"JANGAN LEWATKAN: CINTA TENIS INDONESIA siap mengimformasikan kegiatan tenis di klub, Pengkot/Pengkab, Pengprov, PP Pelti, turnamen, kepelatihan, perwasitan, profil pemain junior dan senior, pembina, pelatih dan wasit serta sponsor dan lain-lain. Hubungi kami: HP: 081513873418 atau e-mail: faktorutama@yahoo.com. Kami nantikan." ***