Menu

coiga

AYO GABUNG

KARYA ANDA KAMI NANTIKAN

TENIS COI menantikan karya Anda untuk mengisi konten di situs ini.
Baik itu tulisan maupun foto tentang pemain, klub, pengurus Pengkot/Pengkab, Pengprov dan PP Pelti, turnamen dan kegiatan tenis lainnya. Kirim karya tulis atau karya foto Anda ke e-mail: akumemangcoi@yahoo.com.

Senin, 03 Juni 2013

Jangankan Menembus Dunia, Ke Myanmar Saja Tak Bisa

Sumber Asli -- TENIS COI - KE mana Anda menghabiskan Jumat malam setelah berhari-hari berjuang keras di wilayah profesi kita masing-masing?
Kalau Anda tinggal di sekitar Bintaro dan membutuhkan selingan yang menyenangkan sekaligus menyegarkan, cobalah datang ke Bintaro Plaza. Setiap malam pada hari kelima itu di sana digelar “Beatles Night”.

Jangan anggap musik warisan empat pemuda gondrong Liverpool itu hanya membuat kita bernostalgia melamunkan masa lalu. Setelah tiga jam lebih digoyang denting rock gaya John Lennon dan kawan-kawan, seluruh tubuh ternyata jadi berkeringat segar.

Sehat atau tidak dari ukuran kedokteran, mungkin masih perlu perdebatan. Tapi setidaknya pekan lalu hadir juga di sana dokter Hario Tilarso, pakar kesehatan olahraga yang hingga kini masih aktif menjadi pengurus KONI dan FORMI. Ia ditemani istrinya, Berty Tilarso, pelatih senam aerobik.

Tapi, di tengah suasana ingar bingar yang didominasi para penggila Beatles itu pikiran saya sebentar-sebentar masih terpecah ke Roland Garros. Apa yang sedang terjadi di stadion tenis tanah liat dalam kota Paris yang tengah menggelar turnamen grand salam

Prancis Terbuka itu?
Adakah kejutan baru setelah Li Na, juara Prancis Terbuka 2011 dan finalis Australia Terbuka 2013 dari Cina, ditumbangkan Bethanie Mattek Sands, pemain non-unggulan dari Amerika Serikat?  Bagaimana pula nasib si jelita Maria Sharapova? Adakah ia akan mengalami musibah yang sama?
Pertanyaan tentang Rafael Nadal juga mengusik. Sudah dua kali berturut-turut petenis yang telah tujuh kali menjadi juara Roland Garros itu kehilangan set melawan pemain dari papan bawah. Akankah nasibnya berujung dengan kehilangan match  mengejutkan seperti yang dialami Li Na?

Cedera
Li Na, Nadal, dan seabrek pemain lain, bahkan juga semua atlet di cabang apa pun, mengalami masalah yang sama dalam proses meraih dan mempertahankan kejayaannya, yakni cedera. Lebih dari masalah, cedera malah bisa dianggap sebagai musuh terbesar bagi semua atlet.

Sehebat apa pun seorang atlet atau pemain jika kondisi fisiknya terganggu ia tak akan bisa menampilkan seluruh kemampuan terbaiknya. Kondisi tubuh yang tidak prima itu otomatis juga akan menjalar pada kondisi psikis dan mentalnya, ia mungkin hanya tinggal berkekuatan 50 persen atau malah kurang.

Pada final Australia Terbuka 2013 melawan Victoria Azarenka, Januari lalu, Li Na  merasakan bagaimana cedera telah membuatnya sangat menderita. Dua kali pertandingan terpaksa dihentikan wasit agar petenis Asia satu-satunya yang pernah menjuarai turnamen grand slam  itu bisa merawat kakinya yang luka parah.

Li Na akhirnya kehilangan peluang merebut gelar Australia Terbuka yang sudah berada di jari-jarinya. Lebih buruk dari itu, selama beberapa minggu berikutnya ia masih saja belum mampu meraih kembali kondisi fisik terbaiknya, sampai harus menderita kekalahan dari petenis bukan unggulan di Roland Garros.

Lebih dari itu, komentar Li Na pada konferensi pers seusai pertandingan ternyata menimbulkan masalah baru baginya. Kepada media yang menanyakan bagaimana  sikapnya menghadapi kekalahan itu, terutama terhadap para penggemarnya di Cina,  Li Na menukas, “Saya sudah kalah, selesai. Apa saya harus berlutut dan minta maaf?”

Komentar lugas dan tegas yang bernada emosional itu ditanggapi secara emosional pula oleh sebagian media di Cina. Mereka menganggap perilaku Li Na yang tadinya dianggap sebagai pahlawan telah merosot bersama dengan prestasinya yang tidak lagi menunjukkan dirinya sebagai petenis juara.

Angelique
Turnamen akbar di tanah liat Roland Garros, yang baru berlangsung separuh jalan,  sangat boleh jadi akan melahirkan drama-drama baru dari para bintang dan jagoan yang diharapkan akan menjadi juara atau finalis.

Yang setiap kali harus disayangkan, tidak ada satu pun pemain Indonesia yang bisa disebut atau disenggol untuk menjadi penghibur bagi para penggemar tenis di negeri ini. Jangankan di peringkat atas, di papan bawah, kualifikasi maupun junior pun petenis kita kini semakin berjarak dengan arena setingkat Roland Garros.

Pengalaman terakhir saya meliput turnamen itu pun sudah lumayan jauh berselang, tahun 2004. Tapi waktu itu saya masih bisa membawa pulang cerita tentang Angelique Widjaja (dengan pelatih Dedy Tedjakusuma)  dan Wynne Prakusaya yang ditangani pelatih Suzanna Anggarkusuma.

Keduanya berhasil masuk babak utama, tapi kemudian sama-sama harus lebih cepat angkat koper. Karena, tentu saja, harus berhadapan dengan pemain unggulan. Beda kelas, dan saya sampai sekarang masih harus mengatakan, ada juga beda sikap mental. Para petenis dunia selalu bermain dengan total, dengan seluruh raga dan jiwanya.

Waktu itu  saya bahkan menulis dengan nada menyayangkan kenapa Angelique seperti takut melakukan sliding untuk menjangkau bola, memanfaatkan karakter tanah liat yang nyaman untuk “berselancar”. Padahal, di masa juniornya ia bisa tampil sangat bagus, bahkan menjadi juara di Wimbledon.
Kini, karena publikasi dan promosi yang sangat buruk, masyarakat bahkan tidak tahu apakah PP Pelti mempunyai rencana besar untuk kembali ke wilayah grand salam.

Maman Wirjawan, yang merebut kursi ketua umum dengan kampanye cepat dan hemat, bahkan tidak mempunyai ide bagaimana melawan Myanmar agar tenis tetap dipertandingkan di SEA Games.***

- (CTI-1) ***"JANGAN LEWATKAN: CINTA TENIS INDONESIA siap mengimformasikan kegiatan tenis di klub, Pengkot/Pengkab, Pengprov, PP Pelti, turnamen, kepelatihan, perwasitan, profil pemain junior dan senior, pembina, pelatih dan wasit serta sponsor dan lain-lain. Hubungi kami: HP: 088210452863 atau e-mail: akumemangcoi@yahoo.com. Kami nantikan." ***

Tidak ada komentar: